CAMPUR KODE DALAM PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PADA
LINGKUNGAN MAHASISWA TINGKAT 2 A PBSI UNIVERSITAS SURYAKANCANA TAHUN 2013
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Menulis I
Oleh
SELVI AGUSTINI
01020101100189
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SURYAKANCANA
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan hidayah dan kenikmatan hidup, karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian miniatur skripsi dengan baik
disertai kelancaran.
Miniatur skripsi merupakan salah satu tugas individu
dari mata kuliah Menulis I, yang dibimbing oleh Hj. Iis Sukaesih, S.Pd., M.Pd.
Tugas ini bertemakan mengenai Campur
Kode Dalam Penggunaan Ragam Bahasa Pada Lingkungan Mahasiswa Tingkat 2A PBSI
Universitas Suryakancana Tahun 2013.
Miniatur skripsi penulis buat secara jujur (apa adanya) berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan di lingkungan sekitar kampus Universitas Suryakancana
Cianjur. Materi yang dibutuhkan sebagai referensi dalam pembuatan penelitian
ini bersumber pada buku-buku perpustakaan dan beberapa situs internet yang
mengacu pada materi yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, laporan hasil penelitian miniatur
skripsi ini, dapat dijadikan sebagai bukti tertulis dari hasil tugas individu
yang telah penulis laksanakan. Penulis berharap kiranya pekerjaan penelitian
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan minat terhadap pengajaran Menulis I.
Cianjur,
Mei 2013
Penulis
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki peranan yang penting bagi kehidupan
manusia. Salah satu fungsi bahasa adalah
sebagai alat untuk berkomunikasi bagi
masyarakat untuk menyampaikan sebuah
informasi kepada orang lain. Dengan
bahasa, masyarakat dapat bertukar pikiran, menerima berbagai informasi dan
meningkatan keterampilan serta
pengetahuan.
Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar, maka
manusia harus memiliki keterampilan berbahasa di antaranya keterampilan
menyimak, keterampilan menulis, keterampilan membaca, dan keterampilan
berbicara. Keempat keterampilan tersebut sangat mempengaruhi proses interaksi
manusia dalam berbahasa, sehingga dapat terjadi kekomunikatifan antara
komunikan dengan komunikator.
Keterampilan berbicara (speaking skills) selalu
digunakan setiap hari dalam melakukan berbagai kegiatan. Ketika ujaran
dilakukan oleh penutur, banyak peristiwa pergantian bahasa yang digunakan oleh
penutur. Perubahan bahasa tersebut bisa terjadi dari peralihan ragam santai
menjadi ragam resmi, ragam resmi menjadi ragam santai, pencampuran kode bahasa
dari bahasa ibu atau kedaerahan menjadi bahasa kedua, ataupun sebaliknya.
Sosiolinguistik merupakan
bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Pandangan sosiolinguitik terhadap
bahasa yaitu bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan, hubungan faktor-faktor
kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor
sosial dan budaya, dan fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam
masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian, bahasa Indonesia
semakin terdesak. Di satu sisi bahasa Indonesia memiliki masalahnya sendiri
termasuk masalah tata bahasa. Namun, di sisi lain, bahasa Indonesia yang dulu
sering dipertentangkan dengan bahasa daerah, kini harus berhadapan lagi dengan
bahasa-bahasa asing. Itulah yang disebut dengan campur kode. Secara sederhana,
campur kode ialah fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa pertama,
pencampuran bahasa asing ke dalam struktur bahasa ibu. Berdasarkan definisi
sederhana ini, menimbulkan suatu permasalahan
yang dituangkan dalam suatu penelitian
mengenai Campur Kode Dalam Penggunaan
Ragam Bahasa Pada Lingkungan Mahasiswa Tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana
Tahun 2013. Fenomena campur kode
tersebut tidak selalu melibatkan bahasa asing melainkan bisa juga melibatkan
bahasa daerah dengan bahasa nasional, terutama bahasa daerah dari Sunda. Karena
penelitian yang dilakukan merupakan
mayoritas masyarakan suku Sunda, khususnya yang berada di wilayah
Cianjur, umumnya Jawa Barat.
1.2 Batasan dan
Rumusan Masalah
1.2.1
Batasan
Masalah
Masalah
yang berhubungan dengan sosiolinguistik sangat kompleks, sehingga perlu
dibatasi agar penelitian menjadi lebih terarah dan spesifik. Atas dasar latar
belakang tersebut, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan campur kode
bahasa. Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah campur kode (code mixing) yang merupakan sebuah
masalah dalam masyarakat yang multilingual dan hal yang membedakan dalam
masyarakat bilingual mengenai campur kode.
1.2.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang terkandung dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana cara membedakan alih kode
dengan campur kode pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas
Suryakanacana?
2.
Bagaimana perkembangan masalah campur
kode dalam masyarakat pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas
Suryakanacana?
3.
Bagaimana kebahasaan campur kode yang
digunakan lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakanacana?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah salah satu rumusan yang akan
dicapai dalam setiap kegiatan. Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1.
Membedakan campur kode bahasa dengan
alih kode bahasa pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas
Suryakanacana.
2.
Mendeskripsikan kebiasaan campur kode
bahasa pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana
Cianjur.
3.
Menganalisis sebagian besar bahasa
daerah (bahasa ibu) yang digunakan dalam campur kode mahasiswa tingkat 2A PBSI
Universitas Suryakancana Cianjur.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis. Adapun manfaat penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut
:
1. Bagi
peneliti, memberikan pengalaman berkenaan dengan penelitian campur kode bahasa.
2. Bagi
dosen, memberikan referensi dalam simpulan akhir mengenai penelitian campur
kode bahasa.
3. Bagi
mahasiswa, dapat meminimalisir penggunaan campur kode bahasa secara sadar dalam kondisi ragam resmi.
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
2.1 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah varian dari
sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu
varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut bisa
berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai
variasi sosiolinguistik lain, termasuk variasi bahasa
baku itu sendiri. Timbulnya ragam bahasa disebabkan oleh penggunaan bahasa
baku dan bahasa tidak baku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi resmi,
seperti di kantor, atau di dalam pertemuan resmi menggunakan bahasa baku.
Sebaliknya di dalam situasi tidak resmi, seperti di rumah, di pasar, atau di
taman tidak dituntut untuk menggunakan bahasa baku.
Berdasarkan
media penyampaiannya ragam bahasa dibagi menjadi dua, yaitu ragam bahasa lisan
dan ragam bahasa tulis.
2.1.1
Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan merupakan bahasa yang
diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar,
misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi
perkuliahan, ceramah, dan ragam lisan yang non standar, misalnya dalam percakapan
antar teman, di pasar, atau dalam kesempatan non formal lainnya.
Secara
garis besar, ragam berbicara lisan dapat dibagi atas:
- Berbicara di muka umum pada masyarakat yang mencakup empat jenis, yaitu:
a. Berbicara dalam situasi yang bersifat
memberitahukan atau melaporkan;
b. Berbicara dalam situasi yang bersifat
kekeluargaan, persahabatan;
c. Berbicara dalam situasi yang bersifat
membujuk atau mengajak;
d. Berbicara dalam situasi yang bersifat
merundingkan dengan hati-hati.
- Berbicara pada konferensi yang meliputi:
a.
Diskusi
kelompok, dapat dibedakan atas:
1)
Tidak
resmi (informal)
a)
Kelompok
studi
b)
Kelompok
pembuat kebijaksanaan
c)
Komik
2)
Resmi
(formal)
a)
Konferensi
b)
Diskusi
panel
c)
Symposium
b.
Prosedur
parlementer
c.
Debat
(Tarigan, 1981:24-25)
2.1.2 Ragam
Bahasa Tulis
Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun
non standar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran,
teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam
tulis non standar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.
2.2 Campur
Kode
Nababan (dalam Asep Purnama, 2010:12)
menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lisan bilamana orang
mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbeda
yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian
penutur atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang erdapat pada situasi
informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan
karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga
perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Campur kode terjadi apabila seorang
penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan
disisipi dengan unsure bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan
karakteristik penutur, seperti latar belakang social, tingkat pendidikan, rasa
keagamaan, dll. Biasanya ciri dominannya berupa kesantaian atau situasi
informal. Namun bias terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa
tersebut tidak ada padanya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,
walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Dengan demikian campur kode terjadi
karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan
fungsi bahasa. Beberapa
wujud campur kode sebagai berikut :
a.
penyisipan
kata,
b. menyisipan frasa,
c. penyisipan klausa,
d. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e.
penyisipan
bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
2.3 Jenis
Campur Kode
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa
banyak didasarkan pada pertimbangan mitra bicara. Pertimbangan ini menunjukan
suatu pendirian terhadap topic tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu.
Campur kode (Code Mixing) lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal
dan tutur bahasda rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Campur
kode ke dalam (innercode-mixing),
campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan bahasa aslinya.
b.
Campur
kode ke luar (outer code-mixing),
campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang
terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.
Sikap
(attitudinal type), latar belakang
sikap penutur.
2.
Kebahasaan
(linguistik type), latar belakang
keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi
ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Sedikit sekali pakar yang membedakan
secara jelas antar alih dan kode, misalnya Hudson. Secara implisit ia tidak
membedakan antara alih kode dan campur kode atau mempermasalahkan keduannya,
bahkan secara konseptual alih kode berpreposisi sebagai salah satu proses dalam
campur kode variasi (baca:kode) atau dengan istilanhnya mixture of varieties,
disamping bagian lainnya seperti peminjaman.
2.4 Ciri Campur Kode
Campur kode mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu
adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbale balik
antara peranan dan fungsi bahasa dan unsur-unsur atau varian-varian yang
menyisipi di dalam bahasa tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri melainkan menyatu dengan bahasan yang disisipnya dan
secara keseluruhan mendukung satu fungsi.
Ciri-ciri campur kode sebagai berikut :
a.
ketergantungan bahasa ditandai dengan
adanya hubungan timbale balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.
b.
Unsure-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
fungsi tersendiri. Unsure-unsur tersebut menyatu dengan bahasa yang disisipinya
dan secara keseluruhan hanya mendukung atu fungsi.
2.5 Penyebab Campur Kode
Suwito
mengemukakan bahwa pada dasarnya campur kode dapat dikategorikan dua yaitu
sikap (Attitudinal Type) dan kebahasaan (Linguistik Type). Adapun
alasan-alasannya yaitu :
a.
Identifikasi peranan
b.
Identifikasi ragam
c.
Keinginan untuk menjelaskan dan
menafsirkan (Suwito, 1983: 77)
Sementara
Nababan (1991) menekankan bahwa situasi
menentukan terjadinya campur kode bahkan ia menyebutkan cirri campur kode ialah
kesantaian atau situasi informal. Selain itu, terdapat penyebab yang mendukung
pada identifikasi peranan yang dimaksud Suwito yaitu pembicara ingin memamerkan
‘keterpelajaran’ atau ‘kedudukannya’.
2.6
Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Perbedaan yang cukup
nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena
sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode
dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang
terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi
sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau
kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia
kejawa-jawaan.
Thelander membedakan
alih kode dan campur kode, apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai
alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang
digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa
itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Selain itu, Chaer juga
menerima criteria yang ditemukan oleh Fasold
(Chaer, 1995 : 152), yaitu criteria gramatika untuk membedakan alih kode
dalam campur kode. Adapun criteria yang dimaksud sebagai berikut :
‘Kalau seorang
menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur
kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa
lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Guna kepentingan penelitian ini antara lain kode dan
campur kode disejajarkan. Dengan demikian konsep antara keduanya digunakan dan
dianggap saling melengkapi
2.7 Persamaan Alih Kode dan Campur
Kode
Kedua peristiwa
tersebut lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua
bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup yaitu, alih kode terjadi dengan
masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar, dan sengaja, karena sebab-sebab tertentu. Sedangkan
campur kode adalah sebuah kode utama atau kode yang lain yang terlibat dalam
penggunaan bahasa tersebut kode. Unsure bahasa lain hanya disisipkan pada kode
utama atau pada dasar.
Sebagai contoh : penutur menggunakan bahasa dalam
peristiwa tutur menyisipkan unsure bahasa jawa, sehingga tercipta bahasa
Indonesia kejawa-jawaan. Adapun sebagai contoh ini adalah penutur menggunakan
bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan bahasa Indonesia yang kebarat-baratan.
Sehingga langsung tercipta bahasa Indonesia yang kebarat-baratan dengan logat
bahasa yang ada logat baratnya.
Begitupun sebaliknya dengan penggunaan bahasa dari daerah lain. Banyak orang yang
menggunakan bahasa dari daerah lain dengan cara dicampur-campur.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1
Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian
3.1.1 Populasi Penelitian
Populasi
adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1989:132). Sesuatu yang menjadi
populasi dalam penelitian adalah pelajar di perguruan tinggi atau mahasiswa.
Dalam hal ini yang menjadi objek yang akan
diteliti adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang
berada di lingkungan Universitas Suryakancana Cianjur. Masyarakat FKIP terdiri
dari perempuan dan laki-laki. Lingkungan FKIP memiliki cakupan luas,
diantaranya di dalam dan di luar kelas, kantin kampus, dan sebagainya. Populasi yang akan diambil dalam penelitian
merupakan warga mahasiswa tingkat 2 A semester 4 PBSI Universitas Suryakancana
yang berjumlah 49 orang. Untuk lebih
jalasnya dapat dilihat tabel berikut ini :
DATA
MAHASISWA TINGKAT 2 A PBSI
UNIVERSITAS
SURYAKANCANA CIANJUR
TAHUN
2013
NO.
|
JENIS
KELAMIN
|
JUMLAH
|
|
PRIA
|
PEREMPUAN
|
||
1.
|
16
|
33
|
49 orang
|
3.1.2 Sampel Penelitian
Sampel
adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1989:104).
Dinamakan penelitian sampel karena hasil penelitian sampel digeneralisasikan,
artinya mengangkat kesimpulan penelitian sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
random. Pengambilan sampel random dilakukan karena keadaan subjek di dalam
populasi benar-benar dianggap homogen.
Berdasarkan hal tersebut di atas, yang menjadi
sampel dalam penelitian ini diambil dari sekelompok mahasiswa 2 A PBS
Universitas Suryakancana Cianjur, dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI) yang khususnya tingkat 2 A PBSI smester 4, dengan jumlah sampel 4 orang. Seluruh mahasiswa tersebut telah memperoleh bahasa keduanya
yakni bahasa Indonesia dan bahasa ibu/bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda.
3.2
Instrumen Penelitian dan Metode Penelitian
3.2.1
Instrumen Penelitian
Instrumen
merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data. Instrument yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara sebuah rekaman berupa handphone
(telepon seluler) yang disimpan di tengah-tengah percakapan yang dilakukan oleh
sampel, tentunya tanpa didasari dan tanpa sepengetahuan seorang tindak tutur.
Dengan cara sebuah alat rekaman maka sumber data akan diperoleh secara akurat
dan jujur (apa adanya). Sehingga tidak ada satu kata atau kelompok kata yang
dapat diubah untuk kepentingan penelitian. Salah satunya penyimpanan waktu yang
meliputi hari, tanggal, bulan, tahun berikut dialog campur kode yang diujarkan
oleh sekelompok mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur.
3.2.2
Metode Penelitian
Suatu metode penelitian memiliki rancangan
penelitian (research design)
tertentu. Tujuan rancangan penelitian adalah melalui penggunaan metode
penelitian yang tepat, dirancang kegiatan yang dapat memberikan jawaban yang
teliti terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian berdasarkan masalah yang di
ambil serta tujuan yang ingin dicapai.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif (descriptor research)
karena dalam hal ini peneliti mencoba untuk memecahkan suatu masalah atau
menentukan suatu tindakan diperlukan sejumlah informasi. Informasi tersebut
dikumpulkan melalui penelitian deskriptif.
Menurut Syaodih (2007:72), metode deskriftif adalah
suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena yang ada,
yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.
Di dalam penelitian deskriftif ini, pengujian
datanya dibandingkan dengan suatu criteria atau standar yang sudah ditetapkan
terlebih dahulu pada waktu menyusun desain penelitian.
3.3
Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
3.3.1
Pengumpulan Data
Teknik
penelitian merupakan salah satu usaha bagaimana cara (prosedur) yang harus
ditempuh dengan menggunakan metode tertentu, agar tujuan yang diinginkan dalam
suatu penelitian dapat tercapai (Suyatna, 2004: 18).
Prosedur
pengumpulan data dalam penelitian campur kode di lingkungan mahasiswa tingkat 2
A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur adalah sebagai berikut :
1.
Mencari data atau sumber yang diperlukan
dalam penelitian;
2.
Mengumpulkan data atau sumber yang
diperlukan dalam penelitian;
3.
Menyediakan alat penelitian berupa
rekaman;
4.
Merekam data atau sumber data yang
diperlukan dalam penelitian;
5.
Menganalisis data yang diteliti;
6.
Menyimpulkan hasil penelitian
3.3.2
Pengolahan Data
Daftar
yang telah terkumpul selanjutnya diolah menggunakan teknik deskriftif dari hasil penelitian campur kode. Untuk
membuahkan hasil yang objektif, diperlukan teknik pengolahan data.
Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut :
1.
Melakukan putaran ulang hasil penelitian
dalam alat rekaman.
2.
Memindahkan hasil penelitian dari
rekaman ke dalam tulisan secara utuh.
3.
Menganalisis dengan menandai bahasa yang
termasuk campur kode.
4.
Membahas penelitian tersebut berdasarkan
landasan teoritis yang sudah ditentukan.
5.
Menyebutkan hasil penelitian yang berupa
kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Data
Tanggal penelitian :
Rabu, 15 Mei 2013
Tempat penelitian :
Ruang D5 - Kampus Unsur Cianjur
Jumlah sampel penelitian : 4 orang
Elmi :
“Aku mah hayang beli kamera”
Rani : “
Kamera kayak gimana?”
Elmi :
“Kaya punya Amel”
Rani :
“Kata temen aku mah kalo pengen beli kamera kayak gitu teh
biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi :
“Oh gitu!!”
Amel :
“Apa? Apa?”
Rani :
“Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
ya?”
Amel :
“Iya, aku juga pas beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
lensanya?’ ”
Selvi :
“Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji”
Amel :
“Iya terpisah”
Elmi :
“Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel :
“Satu juta klo ini mah, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
sih, aya nu nyampe 60 juta
juga”
Rani : “
haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah”
Elmi : “Aku
mah mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
catering,sama yang lainnya”
Amel :
“Eh… yang penting sakral!”
Elmi :
“Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya nikahnya teu
dirayakeun!”
4.2
Analisis Data
Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan di
lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakacana Cianjur, terdapat
beberapa unsur pemakaian campur kode antar mahasiswa dalam melakukan
pembicaraan. Di bawah ini terdapat
analisis data yang telah dituturkan oleh tindak ujar, diantaranya :
Elmi :
“Aku mah hayang beli kamera”
Rani : “
Kamera kayak gimana?”
Elmi :
“Kaya punya Amel”
Rani :
“Kata temen aku mah kalo pengen beli
kamera kayak gitu teh
biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi :
“Oh gitu!!”
Amel :
“Apa? Apa?”
Rani :
“Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
ya?”
Amel :
“Iya, aku juga pas beli ditanya dulu
‘beli kameranya atau
lensanya?’ ”
Selvi :
“Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji”
Amel :
“Iya terpisah”
Elmi :
“Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel :
“Satu juta klo ini mah, lensanya dua
juta. Tapi tergantung merk
sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani : “
haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah”
Elmi :
“Aku mah mendingan buat modal nikah
aja. Belum resepsi,
catering,sama yang lainnya”
Amel :
“Eh… yang penting sakral!”
Elmi :
“Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya
nikahnya teu
dirayakeun!”
4.3
Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dari penelitian campur kode di
lingkungan mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Cianjur, selalu menggunakan
ujaran yang mengandung campur kode. Hal ini terbukti dengan penggunaan
kata-kata bahasa pertamanya yakni bahasa daerah bahasa Sunda, dengan bahasa
keduanya yakni bahasa nasional bahasa Indonesia. Berikut terdapat beberapa
hasil penelitian analisis data berupa kata maupun frasa, diantaranya sebagai berikut
:
Elmi :
“Aku mah hayang beli kamera”
Rani : “
Kamera kayak gimana?”
Elmi :
“Kaya punya Amel”
Rani :
“Kata temen aku mah kalo pengen beli
kamera kayak gitu teh
biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi :
“Oh gitu!!”
Amel :
“Apa? Apa?”
Rani :
“Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
ya?”
Amel :
“Iya, aku juga pas beli ditanya dulu
‘beli kameranya atau
lensanya?’ ”
Selvi :
“Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji”
Amel :
“Iya terpisah”
Elmi :
“Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel :
“Satu juta klo ini mah, lensanya dua
juta. Tapi tergantung merk
sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani : “
haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah”
Elmi :
“Aku mah mendingan buat modal nikah
aja. Belum resepsi,
catering,sama yang lainnya”
Amel :
“Eh… yang penting sakral!”
Elmi :
“Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya
nikahnya teu
dirayakeun!”
Berdasarkan hasil analisis data diatas, terdapat
beberapa campur kode dari bahasa Sunda, diantaranya :
a.
Mah
b.
Hayang
c.
Teh
d.
Pas
e.
Kirain
teh ngahiji
f.
Hungkul
g.
Aya
anu nyampe
h. Maenya
i.
Teu
dirayakeun
4.4
Pembahasan Analisis Data
Dalam penggunaan campur kode dalam penelitian yang
dilakukan di lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana
Cianjur, berawal dari ragam santai kemudian campur kode. Dari setiap ujarannya
keempat mahasiswa tersebut terlihat
komunikatif meskipun menggunakan campuran bahasa yang berbeda. Tanpa disadari
setiap kata tersebut pasti selalu melekat dalam setiap ujaran karena bahasa
pertama (bahasa Sunda) sangat kuat dalam penggunaannya sehingga mempengaruhi
hasil ujaran.
Berikut ini
adalah ujaran asli dari hasil penelitian campur kode :
Elmi :
“Aku mah hayang beli kamera”
Rani : “
Kamera kayak gimana?”
Elmi :
“Kaya punya Amel”
Rani :
“Kata temen aku mah kalo pengen beli
kamera kayak gitu teh
biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi :
“Oh gitu!!”
Amel :
“Apa? Apa?”
Rani :
“Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
ya?”
Amel :
“Iya, aku juga pas beli ditanya dulu
‘beli kameranya atau
lensanya?’ ”
Selvi :
“Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji”
Amel :
“Iya terpisah”
Elmi :
“Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel :
“Satu juta klo ini mah, lensanya dua
juta. Tapi tergantung merk
sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani : “
haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah”
Elmi :
“Aku mah mendingan buat modal nikah
aja. Belum resepsi,
catering,sama yang lainnya”
Amel :
“Eh… yang penting sakral!”
Elmi :
“Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya
nikahnya teu
dirayakeun!”
Seyogyanya
ujaran tersebut menggunakan satu bahasa, yakni bahasa kedua (bahasa nasional),
jika diubah maka akan menjadi :
Elmi :
“Aku ingin beli kamera”
Rani : “
Kamera kayak gimana?”
Elmi :
“Kaya punya Amel”
Rani :
“Kata teman aku kalo beli kamera kayak gitu
bisa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi :
“Oh gitu!!”
Amel :
“Apa? Apa?”
Rani :
“Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
ya?”
Amel :
“Iya, aku juga ketika beli ditanya dulu
‘beli kameranya atau
lensanya?’ ”
Selvi :
“Oh… dijual terpisah? Dikira bersatu”
Amel :
“Iya terpisah”
Elmi :
“Kalo kameranya saja berapa Mel?”
Amel :
“Satu juta klo ini, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
sih, ada yang sampai 60 juta juga”
Rani : “
haaahhh! Mendingan beli rumah kalau aku”
Elmi : “Kalau Aku mendingan buat modal nikah
aja. Belum resepsi,
catering,sama yang lainnya”
Amel :
“Eh… yang penting sakral!”
Elmi :
“Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Masa
nikahnya tidak
dirayakan!”
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan
Berdasarkan
hasil penelitian, analisis, dan pembahasan data penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Bahwa
campur kode terjadi jika seorang tindak tutur menggunakan suatu bahasa dominan
mendukung suatu tuturan disisipkan dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini
biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang
sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan dan lain-lain, sehingga menimbulkan
kesantaian. Hasil penelitian yang telah dilakukan di lingkungan mahasiswa
tingkat 2 A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur, terjadi dalam kesantaian,
campur kode bahasa yang digunakan adalah bahasa pertama (bahasa Sunda) dan
bahasa kedua (bahasa Indonesia).
b. Campur
kode adalah sebuah kode utama atau kode yang lain yang terlibat dalam
penggunaan bahasa disebut kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode
utama atau pada dasar. Hasil penelitian
yang dilakukan di lingkungan mahasiswa 2 A PBSI Universitas Cianjur, campur kode yang digunakan adalah bahasa
dalam tingkat kata, frasa, dan klausa.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan
pembahasan data penelitian yang telah dilakukan, serta berdasarkan pada
kesimpulan di atas peneliti mengajukan saran yang berhubungan dengan campur
kode. Campur kode hanya digunakan dalam ragam kesantaian , karena dalam
forum-forum tertentu campur kode harus dihindari. Hal ini dilakukan untuk
keterpelajaran dan kedudukkan seseorang.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul;
Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakara: Rineka Cipta.
Purnama, Asep.
2010. Campur Kode dan Alih Kode dalam
Penggunaan Ragam Bahasa Penyiar Radio Wacana Cianjur. Skripsi. Universitas
Suryakancana Cianjur.
Tarigan, Henri
Guntur. 2008. Berbicara Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar