Translate

Sabtu, 03 Mei 2014

CAMPUR KODE DALAM PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PADA LINGKUNGAN MAHASISWA TINGKAT 2 A PBSI UNIVERSITAS SURYAKANCANA TAHUN 2013



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki peranan yang penting bagi kehidupan manusia.  Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk  berkomunikasi bagi masyarakat  untuk menyampaikan sebuah informasi  kepada orang lain. Dengan bahasa, masyarakat dapat bertukar pikiran, menerima berbagai informasi dan meningkatan  keterampilan serta pengetahuan.
Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar, maka manusia harus memiliki keterampilan berbahasa di antaranya keterampilan menyimak, keterampilan menulis, keterampilan membaca, dan keterampilan berbicara. Keempat keterampilan tersebut sangat mempengaruhi proses interaksi manusia dalam berbahasa, sehingga dapat terjadi kekomunikatifan antara komunikan dengan komunikator.
Keterampilan berbicara (speaking skills)   selalu digunakan setiap hari dalam melakukan berbagai kegiatan. Ketika ujaran dilakukan oleh penutur, banyak peristiwa pergantian bahasa yang digunakan oleh penutur. Perubahan bahasa tersebut bisa terjadi dari peralihan ragam santai menjadi ragam resmi, ragam resmi menjadi ragam santai, pencampuran kode bahasa dari bahasa ibu atau kedaerahan menjadi bahasa kedua, ataupun sebaliknya.
Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Pandangan sosiolinguitik terhadap bahasa yaitu bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan, hubungan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya, dan fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian, bahasa Indonesia semakin terdesak. Di satu sisi bahasa Indonesia memiliki masalahnya sendiri termasuk masalah tata bahasa. Namun, di sisi lain, bahasa Indonesia yang dulu sering dipertentangkan dengan bahasa daerah, kini harus berhadapan lagi dengan bahasa-bahasa asing. Itulah yang disebut dengan campur kode. Secara sederhana, campur kode ialah fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa pertama, pencampuran bahasa asing ke dalam struktur bahasa ibu. Berdasarkan definisi sederhana ini, menimbulkan suatu permasalahan  yang dituangkan dalam suatu penelitian  mengenai Campur Kode Dalam Penggunaan Ragam Bahasa Pada Lingkungan Mahasiswa Tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana Tahun 2013. Fenomena campur kode tersebut tidak selalu melibatkan bahasa asing melainkan bisa juga melibatkan bahasa daerah dengan bahasa nasional, terutama bahasa daerah dari Sunda. Karena penelitian yang dilakukan merupakan  mayoritas masyarakan suku Sunda, khususnya yang berada di wilayah Cianjur, umumnya Jawa Barat.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
1.2.1        Batasan Masalah
          Masalah yang berhubungan dengan sosiolinguistik sangat kompleks, sehingga perlu dibatasi agar penelitian menjadi lebih terarah dan spesifik. Atas dasar latar belakang tersebut, maka masalah dalam  penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan campur kode bahasa. Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah campur kode (code mixing) yang merupakan sebuah masalah dalam masyarakat yang multilingual dan hal yang membedakan dalam masyarakat bilingual mengenai campur kode.

1.2.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang terkandung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.        Bagaimana cara membedakan alih kode dengan campur kode pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakanacana?
2.        Bagaimana perkembangan masalah campur kode dalam masyarakat pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakanacana?
3.        Bagaimana kebahasaan campur kode yang digunakan lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakanacana?


1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah salah satu rumusan yang akan dicapai dalam setiap kegiatan. Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.        Membedakan campur kode bahasa dengan alih kode bahasa pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakanacana.
2.        Mendeskripsikan kebiasaan campur kode bahasa pada lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur.
3.        Menganalisis sebagian besar bahasa daerah (bahasa ibu) yang digunakan dalam campur kode mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur.

1.4 Manfaat Penelitian
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.    Bagi peneliti, memberikan pengalaman berkenaan dengan penelitian campur kode bahasa.
2.    Bagi dosen, memberikan referensi dalam simpulan akhir mengenai penelitian campur kode bahasa.
3.    Bagi mahasiswa, dapat meminimalisir penggunaan campur kode bahasa  secara sadar dalam kondisi ragam resmi.


BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut bisa berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi sosiolinguistik lain, termasuk variasi bahasa baku itu sendiri. Timbulnya ragam bahasa disebabkan oleh penggunaan bahasa baku dan bahasa tidak baku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi resmi, seperti di kantor, atau di dalam pertemuan resmi menggunakan bahasa baku. Sebaliknya di dalam situasi tidak resmi, seperti di rumah, di pasar, atau di taman tidak dituntut untuk menggunakan bahasa baku.
            Berdasarkan media penyampaiannya ragam bahasa dibagi menjadi dua, yaitu ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.

2.1.1 Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan merupakan bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah, dan ragam lisan yang non standar, misalnya dalam percakapan antar teman, di pasar, atau dalam kesempatan non formal lainnya.
            Secara garis besar, ragam berbicara lisan dapat dibagi atas:
  1. Berbicara di muka umum pada masyarakat yang mencakup empat jenis, yaitu:
a.       Berbicara dalam situasi yang bersifat memberitahukan atau melaporkan;
b.      Berbicara dalam situasi yang bersifat kekeluargaan, persahabatan;
c.       Berbicara dalam situasi yang bersifat membujuk atau mengajak;
d.      Berbicara dalam situasi yang bersifat merundingkan dengan hati-hati.
  1. Berbicara pada konferensi yang meliputi:
a.       Diskusi kelompok, dapat dibedakan atas:
1)      Tidak resmi (informal)
a)      Kelompok studi
b)      Kelompok pembuat kebijaksanaan
c)      Komik
2)      Resmi (formal)
a)      Konferensi
b)      Diskusi panel
c)      Symposium
b.      Prosedur parlementer
c.       Debat
(Tarigan, 1981:24-25)

2.1.2  Ragam Bahasa Tulis
         Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun non standar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis non standar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.

2.2     Campur Kode
Nababan (dalam Asep Purnama, 2010:12) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lisan bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbeda yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang erdapat pada situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsure bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang social, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dll. Biasanya ciri dominannya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bias terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode sebagai berikut :
a.       penyisipan kata,
b.      menyisipan frasa,
c.       penyisipan klausa,
d.      penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e.       penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

2.3  Jenis Campur Kode
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan mitra bicara. Pertimbangan ini menunjukan suatu pendirian terhadap topic tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Campur kode (Code Mixing) lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur bahasda rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi. Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Campur kode ke dalam (innercode-mixing), campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan bahasa aslinya.
b.      Campur kode ke luar (outer code-mixing), campur kode yang berasal dari bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.        Sikap (attitudinal type), latar belakang sikap penutur.
2.        Kebahasaan (linguistik type), latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Sedikit sekali pakar yang membedakan secara jelas antar alih dan kode, misalnya Hudson. Secara implisit ia tidak membedakan antara alih kode dan campur kode atau mempermasalahkan keduannya, bahkan secara konseptual alih kode berpreposisi sebagai salah satu proses dalam campur kode variasi (baca:kode) atau dengan istilanhnya mixture of varieties, disamping bagian lainnya seperti peminjaman.

2.4   Ciri Campur Kode
Campur kode mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbale balik antara peranan dan fungsi bahasa dan unsur-unsur atau varian-varian yang menyisipi di dalam bahasa tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri melainkan  menyatu dengan bahasan yang disisipnya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi.

Ciri-ciri campur kode sebagai berikut :
a.         ketergantungan bahasa ditandai dengan adanya hubungan timbale balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.
b.        Unsure-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsure-unsur tersebut menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung atu fungsi.

2.5 Penyebab Campur Kode
            Suwito mengemukakan bahwa pada dasarnya campur kode dapat dikategorikan dua yaitu sikap (Attitudinal Type) dan kebahasaan (Linguistik Type). Adapun alasan-alasannya yaitu :
a.         Identifikasi peranan
b.        Identifikasi ragam
c.         Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan (Suwito, 1983: 77)
Sementara Nababan (1991) menekankan bahwa  situasi menentukan terjadinya campur kode bahkan ia menyebutkan cirri campur kode ialah kesantaian atau situasi informal. Selain itu, terdapat penyebab yang mendukung pada identifikasi peranan yang dimaksud Suwito yaitu pembicara ingin memamerkan ‘keterpelajaran’ atau ‘kedudukannya’.


2.6 Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander membedakan alih kode dan campur kode, apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Selain itu, Chaer juga menerima criteria yang ditemukan oleh Fasold  (Chaer, 1995 : 152), yaitu criteria gramatika untuk membedakan alih kode dalam campur kode. Adapun criteria yang dimaksud sebagai berikut :
‘Kalau seorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
            Guna kepentingan penelitian ini antara lain kode dan campur kode disejajarkan. Dengan demikian konsep antara keduanya digunakan dan dianggap saling melengkapi

2.7 Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Kedua peristiwa tersebut lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang  cukup yaitu, alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja, karena sebab-sebab tertentu. Sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut kode. Unsure bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau pada dasar.
            Sebagai contoh : penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsure bahasa jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Adapun sebagai contoh ini adalah penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan bahasa Indonesia yang kebarat-baratan. Sehingga langsung tercipta bahasa Indonesia yang kebarat-baratan dengan logat bahasa yang ada logat  baratnya. Begitupun sebaliknya dengan penggunaan bahasa dari daerah lain. Banyak orang yang menggunakan bahasa dari daerah lain dengan cara dicampur-campur.

  
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian 
3.1.1  Populasi Penelitian
            Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1989:132). Sesuatu yang menjadi populasi dalam penelitian adalah pelajar di perguruan tinggi atau mahasiswa. Dalam hal ini yang menjadi objek yang akan  diteliti adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang berada di lingkungan Universitas Suryakancana Cianjur. Masyarakat FKIP terdiri dari perempuan dan laki-laki. Lingkungan FKIP memiliki cakupan luas, diantaranya di dalam dan di luar kelas, kantin kampus, dan sebagainya.  Populasi yang akan diambil dalam penelitian merupakan warga mahasiswa tingkat 2 A semester 4 PBSI Universitas Suryakancana yang berjumlah 49  orang. Untuk lebih jalasnya dapat dilihat tabel berikut ini :
DATA MAHASISWA TINGKAT 2 A PBSI
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
TAHUN 2013
NO.
JENIS KELAMIN
JUMLAH
PRIA
PEREMPUAN
1.
16
33
49 orang

3.1.2 Sampel Penelitian
            Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1989:104). Dinamakan penelitian sampel karena hasil penelitian sampel digeneralisasikan, artinya mengangkat kesimpulan penelitian sebagai sesuatu yang berlaku  bagi populasi.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random. Pengambilan sampel random dilakukan karena keadaan subjek di dalam populasi benar-benar dianggap homogen.
Berdasarkan hal tersebut di atas, yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil dari sekelompok mahasiswa 2 A PBS Universitas Suryakancana Cianjur, dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang khususnya tingkat 2 A PBSI smester 4, dengan  jumlah sampel 4 orang. Seluruh mahasiswa  tersebut telah memperoleh bahasa keduanya yakni bahasa Indonesia dan bahasa ibu/bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda.

3.2 Instrumen Penelitian dan Metode Penelitian
3.2.1 Instrumen Penelitian
            Instrumen merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah   dengan cara sebuah rekaman berupa handphone (telepon seluler) yang disimpan di tengah-tengah percakapan yang dilakukan oleh sampel, tentunya tanpa didasari dan tanpa sepengetahuan seorang tindak tutur. Dengan cara sebuah alat rekaman maka sumber data akan diperoleh secara akurat dan jujur (apa adanya). Sehingga tidak ada satu kata atau kelompok kata yang dapat diubah untuk kepentingan penelitian. Salah satunya penyimpanan waktu yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun berikut dialog campur kode yang diujarkan oleh sekelompok mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur.

3.2.2 Metode Penelitian
Suatu metode penelitian memiliki rancangan penelitian (research design) tertentu. Tujuan rancangan penelitian adalah melalui penggunaan metode penelitian yang tepat, dirancang kegiatan yang dapat memberikan jawaban yang teliti terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian berdasarkan masalah yang di ambil serta tujuan yang ingin dicapai.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif (descriptor research) karena dalam hal ini peneliti mencoba untuk memecahkan suatu masalah atau menentukan suatu tindakan diperlukan sejumlah informasi. Informasi tersebut dikumpulkan melalui penelitian deskriptif.
Menurut Syaodih (2007:72), metode deskriftif adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.
Di dalam penelitian deskriftif ini, pengujian datanya dibandingkan dengan suatu criteria atau standar yang sudah ditetapkan terlebih dahulu pada waktu menyusun desain penelitian.

3.3 Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
3.3.1 Pengumpulan Data
          Teknik penelitian merupakan salah satu usaha bagaimana cara (prosedur) yang harus ditempuh dengan menggunakan metode tertentu, agar tujuan yang diinginkan dalam suatu penelitian dapat tercapai (Suyatna, 2004: 18).
          Prosedur pengumpulan data dalam penelitian campur kode di lingkungan mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur adalah sebagai berikut :
1.        Mencari data atau sumber yang diperlukan dalam penelitian;
2.        Mengumpulkan data atau sumber yang diperlukan dalam penelitian;
3.        Menyediakan alat penelitian berupa rekaman;
4.        Merekam data atau sumber data yang diperlukan dalam penelitian;
5.        Menganalisis data yang diteliti;
6.        Menyimpulkan hasil penelitian

3.3.2 Pengolahan Data 
            Daftar yang telah terkumpul selanjutnya diolah menggunakan teknik deskriftif dari  hasil penelitian campur kode. Untuk membuahkan hasil yang objektif, diperlukan teknik pengolahan data. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut :
1.        Melakukan putaran ulang hasil penelitian dalam alat rekaman.
2.        Memindahkan hasil penelitian dari rekaman ke dalam tulisan secara utuh.
3.        Menganalisis dengan menandai bahasa yang termasuk campur kode.
4.        Membahas penelitian tersebut berdasarkan landasan teoritis yang sudah ditentukan. 
5.        Menyebutkan hasil penelitian yang berupa kesimpulan.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data
Tanggal penelitian              : Rabu, 15 Mei 2013
Tempat penelitian               : Ruang D5 - Kampus Unsur Cianjur
Jumlah sampel penelitian    :  4 orang

Elmi       : “Aku mah hayang beli kamera”
Rani       : “ Kamera kayak gimana?”
Elmi       : “Kaya punya Amel”
Rani       : “Kata temen aku mah kalo pengen beli kamera kayak gitu teh
                  biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi       : “Oh gitu!!”
Amel      : “Apa? Apa?”
Rani       : “Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
                 ya?”
Amel      : “Iya, aku juga pas beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
                  lensanya?’ ”
Selvi       : “Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji”
Amel      : “Iya terpisah”
Elmi       : “Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel      : “Satu juta klo ini mah, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
                 sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani       : “ haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah”
Elmi       : “Aku mah mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
                 catering,sama yang lainnya”
Amel      : “Eh… yang penting sakral!”
Elmi       : “Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya nikahnya teu
                 dirayakeun!”


4.2 Analisis Data
Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan di lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakacana Cianjur, terdapat beberapa unsur pemakaian campur kode antar mahasiswa dalam melakukan pembicaraan. Di bawah ini  terdapat analisis data yang telah dituturkan oleh tindak ujar, diantaranya :

Elmi       : “Aku mah hayang beli kamera”
Rani       : “ Kamera kayak gimana?”
Elmi       : “Kaya punya Amel”
Rani       : “Kata temen aku mah kalo pengen beli kamera kayak gitu teh
                  biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi       : “Oh gitu!!”
Amel      : “Apa? Apa?”
Rani       : “Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
                 ya?”
Amel      : “Iya, aku juga pas beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
                  lensanya?’ ”
Selvi       : “Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji
Amel      : “Iya terpisah”
Elmi       : “Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel      : “Satu juta klo ini mah, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
                 sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani       : “ haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah
Elmi       : “Aku mah mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
                 catering,sama yang lainnya”
Amel      : “Eh… yang penting sakral!”
Elmi       : “Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya nikahnya teu
                 dirayakeun!”



4.3 Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dari penelitian campur kode di lingkungan mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Cianjur, selalu menggunakan ujaran yang mengandung campur kode. Hal ini terbukti dengan penggunaan kata-kata bahasa pertamanya yakni bahasa daerah bahasa Sunda, dengan bahasa keduanya yakni bahasa nasional bahasa Indonesia. Berikut terdapat beberapa hasil penelitian analisis data berupa kata maupun frasa, diantaranya sebagai berikut :

Elmi       : “Aku mah hayang beli kamera”
Rani       : “ Kamera kayak gimana?”
Elmi       : “Kaya punya Amel”
Rani       : “Kata temen aku mah kalo pengen beli kamera kayak gitu teh
                  biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi       : “Oh gitu!!”
Amel      : “Apa? Apa?”
Rani       : “Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
                 ya?”
Amel      : “Iya, aku juga pas beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
                  lensanya?’ ”
Selvi       : “Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji
Amel      : “Iya terpisah”
Elmi       : “Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel      : “Satu juta klo ini mah, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
                 sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani       : “ haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah
Elmi       : “Aku mah mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
                 catering,sama yang lainnya”
Amel      : “Eh… yang penting sakral!”
Elmi       : “Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya nikahnya teu
                 dirayakeun!”


Berdasarkan hasil analisis data diatas, terdapat beberapa campur kode dari bahasa Sunda, diantaranya :
a.      Mah
b.      Hayang
c.       Teh
d.      Pas
e.       Kirain teh ngahiji
f.        Hungkul
g.      Aya anu nyampe
h.      Maenya
i.        Teu dirayakeun

4.4 Pembahasan Analisis Data
Dalam penggunaan campur kode dalam penelitian yang dilakukan di lingkungan mahasiswa tingkat 2A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur, berawal dari ragam santai kemudian campur kode. Dari setiap ujarannya keempat mahasiswa tersebut  terlihat komunikatif meskipun menggunakan campuran bahasa yang berbeda. Tanpa disadari setiap kata tersebut pasti selalu melekat dalam setiap ujaran karena bahasa pertama (bahasa Sunda) sangat kuat dalam penggunaannya sehingga mempengaruhi hasil ujaran. 
Berikut ini adalah ujaran asli dari hasil penelitian campur kode :

Elmi       : “Aku mah hayang beli kamera”
Rani       : “ Kamera kayak gimana?”
Elmi       : “Kaya punya Amel”
Rani       : “Kata temen aku mah kalo pengen beli kamera kayak gitu teh
                  biasa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi       : “Oh gitu!!”
Amel      : “Apa? Apa?”
Rani       : “Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
                 ya?”
Amel      : “Iya, aku juga pas beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
                  lensanya?’ ”
Selvi       : “Oh… dijual terpisah? Kirain teh ngahiji
Amel      : “Iya terpisah”
Elmi       : “Kalo kameranya hungkul berapa Mel?”
Amel      : “Satu juta klo ini mah, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
                 sih, aya nu nyampe 60 juta juga”
Rani       : “ haaahhh! Mendingan beli rumah aku mah
Elmi       : “Aku mah mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
                 catering,sama yang lainnya”
Amel      : “Eh… yang penting sakral!”
Elmi       : “Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Maenya nikahnya teu
                 dirayakeun!”

Seyogyanya ujaran tersebut menggunakan satu bahasa, yakni bahasa kedua (bahasa nasional), jika diubah maka akan menjadi :

Elmi       : “Aku ingin  beli kamera”
Rani       : “ Kamera kayak gimana?”
Elmi       : “Kaya punya Amel”
Rani       : “Kata teman aku kalo beli kamera kayak gitu
                  bisa beli kameranya yang biasa terus lensanya aja yang bagus”
Elmi       : “Oh gitu!!”
Amel      : “Apa? Apa?”
Rani       : “Ya Mel? Kamera kayak kamu belinya terpisah sama lensanya
                 ya?”
Amel      : “Iya, aku juga ketika beli ditanya dulu ‘beli kameranya atau
                  lensanya?’ ”
Selvi       : “Oh… dijual terpisah? Dikira bersatu
Amel      : “Iya terpisah”
Elmi       : “Kalo kameranya saja berapa Mel?”
Amel      : “Satu juta klo ini, lensanya dua juta. Tapi tergantung merk
                 sih, ada yang sampai 60 juta juga”
Rani       : “ haaahhh! Mendingan beli rumah kalau aku”
Elmi       : “Kalau Aku mendingan buat modal nikah aja. Belum resepsi,
                 catering,sama yang lainnya”
Amel      : “Eh… yang penting sakral!”
Elmi       : “Aku kan anak pertama, cucu pertama juga. Masa nikahnya tidak
                 dirayakan!”


























BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan   
          Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan pembahasan data penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a.    Bahwa campur kode terjadi jika seorang tindak tutur menggunakan suatu bahasa dominan mendukung suatu tuturan disisipkan dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan dan lain-lain, sehingga menimbulkan kesantaian. Hasil penelitian yang telah dilakukan di lingkungan mahasiswa tingkat 2 A PBSI Universitas Suryakancana Cianjur, terjadi dalam kesantaian, campur kode bahasa yang digunakan adalah bahasa pertama (bahasa Sunda) dan bahasa kedua (bahasa Indonesia).
b.    Campur kode adalah sebuah kode utama atau kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa disebut kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau pada dasar. Hasil  penelitian yang dilakukan di lingkungan mahasiswa 2 A PBSI Universitas Cianjur,  campur kode yang digunakan adalah bahasa dalam tingkat kata, frasa, dan klausa.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan pembahasan data penelitian yang telah dilakukan, serta berdasarkan pada kesimpulan di atas peneliti mengajukan saran yang berhubungan dengan campur kode. Campur kode hanya digunakan dalam ragam kesantaian , karena dalam forum-forum tertentu campur kode harus dihindari. Hal ini dilakukan untuk keterpelajaran dan kedudukkan seseorang.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul; Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakara: Rineka Cipta.

Purnama, Asep. 2010. Campur Kode dan Alih Kode dalam Penggunaan Ragam Bahasa Penyiar Radio Wacana Cianjur. Skripsi. Universitas Suryakancana Cianjur.

Tarigan, Henri Guntur. 2008. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

1 komentar: